February 13, 2009

Permasalahan Pembangunan Infrastruktur Jalan Nasional

Harian Kompas (12/2) menurunkan berita mengenai kondisi infrastruktur jalan daerah yang kian mengkhawatirkan. Sebenarnya permasalahan buruknya kondisi infrastruktur jalan tidak hanya menjadi milik daerah, tetapi juga menjadi permasalahan nasional. Saat ini kondisi infrastruktur jalan secara nasional berada pada kondisi yang sama, rusak dan memprihatinkan. Jelajah Kalimantan 2009 oleh tim Kompas memberikan gambaran betapa parahnya infrastruktur di jalur Trans Kalimantan. Namun, kerusakan jalan tidak hanya terjadi di luar pulau jawa, tetapi juga terjadi di pulau Jawa. Tengok saja jalur pantura dan jalan-jalan di ibu kota, dari jalan arteri hingga jalan protokol, dan bahkan jalan tol yang merupakan "jalur premium" berlubang di sana-sini, sehingga menyebabkan kemacetan dan bahkan korban jiwa.

Kondisi infrastruktur jalan yang buruk tentu saja akan sangat berdampak pada perekonomian daerah dan nasional secara keseluruhan. Kondisi jalan yang rusak akan mengakibatkan keterlambatan pengiriman barang-barang kebutuhan pokok dan industri, sehingga menyebabkan ekonomi biaya tinggi (high-cost economy). Truk-truk pengangkut komoditas perdaganggan yang seharusnya bisa sampai di tempat tujuan dalam hitungan jam harus menempuh perjalanan berhari-hari dikarenakan jalan yang dilalui rusak parah atau tidak beraspal sama sekali, sehingga harus mengeluarkan extra cost untuk BBM. Konsekuensinya, keuntungan dari proses produksi, distribusi, dan perdagangan barang dan jasa sektor riil akan berkurang, yang tentunya akan mengurangi aggregat pendapatan secara nasional.

Sumber permasalahan

Setidaknya ada empat pokok permasalahan yang menyebabkan buruknya kondisi infrastruktur jalan nasional. Pertama, pembangunan proyek infrastruktur jalan yang kurang terencana. Sampai saat ini pemerintah sepertinya belum memiliki grand design yang cukup komprehensif mengenai pembangunan infrastruktur secara nasional, sehingga proyek-proyek yang sifatnya strategis dan vital dalam mendukung perekonomian daerah dan nasional seperti pembangunan jalan Trans Kalimantan belum menjadi prioritas pemerintah.

Kedua, studi kelayakan (feasibility studies) yang kurang memadai. Studi kelayakan yang seharusnya menjadi acuan kelaikan suatu proyek tidak dilakukan secara maksimal. Sebuah studi kelayakan seharusnya dapat memprediksi kebutuhan akan pembangunan infrastruktur dan spesifikasi teknis yang layak untuk suatu proyek. Apakah pembangunan suatu jalan harus menggunakan aspal atau beton seharusnya sudah dapat ditentukan sejak awal, agar tidak tambal sulam seperti yang terjadi saat ini.

Ketiga, adanya indikasi praktik korupsi pada proyek-proyek infrastruktur jalan yang menyebabkan rendahnya kualitas infrastruktur. Ada korelasi negatif antara korupsi dan kualitas infrastruktur. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat korupsi pada suatu proyek, maka kualitas pembangunannya akan semakin rendah. Fakta di lapangan menunjukkan minimnya kualitas infrastruktur yang ada. Jalan-jalan yang seharusnya mampu dilalui truk-truk bertonase besar di bangun hanya dengan spesifikasi teknis yang seadanya, sehingga tidak mampu bertahan lama. Indikasi ini semakin diperkuat apabila mencermati proses tender proyek-proyek infrastruktur. Meskipun Departemen PU sudah mulai menggunakan e-procurement, tetapi proses lelang yang dilakukan hingga saat ini masih sarat dengan "permainan" dalam penentuan pemenang tender.

Keempat, minimnya dana pembangunan, perawatan, dan rehabilitasi infrastruktur. Sebagaimana diketahui, proyek-proyek pembangunan infrastruktur selalu membutuhkan dana dalam jumlah besar. Namun, pemerintah tidak memiliki dana yang cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan pembangunan infrastruktur, sehingga harus membentuk lembaga khusus pembiayaan infrastruktur bersama beberapa lembaga keuangan multilateral (Kompas, 11/02). Kemudian, dalam hal perawatan dan rehabilitasi infrastruktur pemerintah juga mengalami kendala yang sama, dana. Padahal, tanpa perawatan dan perbaikan yang memadai, sarana dan prasarana yang sudah ada tidak akan mampu bertahan lama.

Kondisi yang merisaukan ini harus segera mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Sudah menjadi tugas dan kewajiban pemerintah untuk menyediakan sarana jalan yang baik bagi masyarakat. Sebab, proyek-proyek infrastruktur biasanya bersifat natural monopoly, yaitu tahan lama (durable), merupakan investasi yang tidak bergerak (immobile investment), dan memiliki dampak skala ekonomi yang besar (strong economies of scale), sehingga membutuhkan keterlibatan yang besar dari pemerintah (Ibanez, 2003).

Implikasi Kebijakan

Mengingat buruknya infrastruktur akan sangat berdampak pada perekonomian nasional, maka pemerintah sebagai major stakeholder infrastruktur nasional harus segera mengambil langkah strategis guna mengatasi permasalahan di atas. Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah. Langkah pertama, menyusun rencana strategis pembagunan infrastruktur secara nasional untuk jangka dekat, menengah, dan panjang. Pemerintah, dalam hal ini Departemen PU, harus duduk bersama dengan stakeholder lainnya seperti Bappenas, pihak swasta, lembaga donor, dan LSM untuk merumuskan blue print infrastruktur nasional. Dengan adanya blue print, diharapkan pola pembangunan infrastruktur nasional dimasa mendatang menjadi lebih terprogram dan terarah.

Kedua, memaksimalkan fungsi studi kelayakan proyek-proyek infrastruktur. Hendaknya studi kelayakan digunakan sebagai landasan dalam perencanaan pembangunan infrastruktur dan sebagai bahan acuan dalam proses pengawasan dan evaluasi pada tahap pembangunan. Ke depan diharapkan feasibility studies tidak hanya menjadi sekedar proyek yang menghambur-hamburkan uang negara.

Ketiga, menghapus praktik korupsi dalam proses tender proyek-proyek infrastruktur. Penggunaan e-procurement secara mnyeluruh perlu diupayakan secara lebih lanjut tidak hanya oleh Departemen PU, namun juga oleh seluruh instansi pemerintah dan BUMN baik pusat maupun daerah. Kemudian, proses penentuan pemenang tender harus dilakukan setransparan mungkin, sehingga dapat menghindari kemungkinan terjadinya permainan antara peserta tender dengan pejabat pelaksana tender. Sebagai tambahan, pejabat pelaksana tender harus ditentukan berdasarkan kompetensi dan integritas personal. Pejabat yang bersih dan profesional akan menjaga proses tender secara keseluruhan terbebas dari praktik KKN.

Keempat, mencari metode pembiayaan alternatif. Mengingat kemampuan yang terbatas, pemerintah seyogyianya mencari alternatif pembiayaan. Skema pembiayaan kerjasama pemerintah dan swasta atau yang lebih dikenal dengan metode Public Private Partnership (PPP), merupakan alternatif pembiayaan proyek infrastruktur yang banyak dipilih oleh banyak negara maju dan berkembang. Skema ini memungkinkan pemerintah untuk meningkatkan nilai guna uang (value for money), sehingga dengan jumlah dana yang sama pemerintah dapat membiayai lebih banyak proyek infrastruktur. Tetapi, penerapan skema ini perlu dibarengi dengan pembentukan kelembagaan yang kuat dan penerapan aturan main yang ketat, agar kerjasama yang terbentuk dapat menguntungkan kedua belah pihak.

-- Written by Fathul Nugroho --